Selasa, 04 Desember 2012

LEGENDA PECAHAN MERIAM BUNTUNG SUKA NALU ( Putri Hijau )

 
 Menurut hikayat, Meriam Puntung (Meriam Buntung dalam bahasa Karo) adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau yang berasal dari Kerajaan Haru. Suatu saat, Putri Hijau mendapatkan pinangan dari Sultan Aceh, yang kemudian ditolaknya. Mendapatkan penolakan itu, Sultan Aceh memutuskan untuk menyerang Istana Haru.Serangan dari Kerajaan Aceh itu ternyata tak dapat dibendung oleh balatentara Haru. Kakak Putri Hijau, lalu berubah menjadi seekor ular naga, sedangkan adiknya,merubah diri menjadi meriam untuk mempertahankan negerinya itu.Saat laskar Aceh semakin dekat ke pintu gerbang Istana Haru, satu-satunya pertahanan adalah meriam itu. Karena digunakan terus-menerus dan tidak mampu menahan panas, meriam itu pun terbelah menjadi dua. Pecahannya terpental ke dua tempat yang berbeda.Salah satu ujungnya terpental ke Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Tanah Karo sekarang. Sementara itu, ujung yang lainnya kini berada di bangunan yang berada di halaman Istana Maimoon. Keduanya hingga sekarang masih dapat ditemui di kedua tempat itu dan menjadi benda yang dikeramatkan oleh penduduk setempat.Sementara Putri Hijau sendiri dibawa oleh Naga penjelmaan dari kakaknya ke arah selat Malaka dan tidak ada kabarnya lagi setelah itu.Begitulah legenda yang masih hidup dalam sebagian masyarakat Sumatera Utara. Akan tetapi, benarkah keseluruhan jalan ceriteranya tersebut?Sementara menurut Biak Resada Ginting, seorang pemerhati sejarah dan pemegang sastra lisan Karo, keberadaan Putri Hijau bukan sekadar legenda. Ia adalah seorang ratu yang memerintah Kerajaan Haru atau Ale (dalam bahasa Karo) sekitar tahun 1594 Masehi. Saat itu Putri Hijau tersebut masih beragama kepercayaan nenek moyang dengan bertuhankan Dibata Si Mula Jadi. "Artinya adalah Tuhan yang maha pertama dan paling akhir, hanya Dia yang tetap hidup," kata Biak, yang menguasai ceritera tentang Kerajaan Haru dan Karo secara lisan dan turun-temurun dari nenek moyangnya.Sementara pada saat bersamaan, di Kesultanan Aceh berkuasalah Sultan Iskandar Muda yang telah beragama Islam. Suatu saat, Iskandar Muda mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat kepada Putri Hijau yang berisi tiga hal.Pertama, hendaknya Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Haru adalah Serambi Aceh, itu berarti Haru diminta untuk tunduk kepada Aceh. Jika Haru tidak mengindahkan kedua hal tersebut, maka dalam pesan yang ketiga disebutkan bahwa Aceh akan menyebarkan agama Islam di Haru."Reaksi Putri Hijau tentu saja menolak dengan alasan tidak ada satu kerajaan pun yang dapat menguasai Haru. Mendengar reaksi tersebut, Iskandar Muda mengirimkan Panglima Gocah untuk menyerang Haru," kata Biak.Peperangan antara Aceh dengan Haru berlangsung sekitar satu setengah bulan lamanya. Pasukan Haru dapat dipukul mundur sehingga Istana Haru dapat dikuasai. Sementara Putri Hijau sendiri ikut gugur dalam peperangan itu."Tidak benar kalau Putri Hijau itu hilang begitu saja. Apalagi legenda yang menyebutkan Putri Hijau dibawa ke Aceh dengan menggunakan peti kaca. Tak rasional itu. Sesakti apa pun orang zaman dulu, tetap saja harus bernapas," . Sementara itu, mengenai keberadaan Meriam Puntung, Biak mengatakan, mungkin hanya terdapat satu meriam yang paling diandalkan di Kerajaan Haru ketika melawan bala tentara Aceh. Meriam itu digunakan secara terus-menerus selama berminggu-minggu hingga putus dan pecah, dan pecahan meriam buntung tersebut kini berada di desa Suka Nalu kecamatan Barus Jahe, menurut penduduk desa Suka Nalu, konon pecahan meriam yang berada di Desa Suka Nalu tersebut, pernah di coba untuk di bawa ke museum di medan, tetapi besok nya pecahan meriam itu kembali lagi ke tempat nya semula yaitu di desa Suka Nalu kecamatan Barus Jahe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar